Senin, 17 Mei 2010

PASAR UANG DAN PERDAGANGAN SAHAM DALAM ISLAM

A. Pengertian

1. Pasar Uang

Pasar Uang adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu jangka waktu yang kurang dari satu tahun. Tujuan pasar uang adalah untuk member alternatif, baik lembaga keuangan bank maupun bukan bank, untuk memperoleh dana dan menanamkan dananya. Pasar modal berfungsi menghubungkan investor, perusahaan dan institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan.

Di Indonesia, Pasar Modal terdiri atas lembaga-lembaga sebagai berikut:

a. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)

b. Bursa efek, saat ini ada dua: Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya namun sejak akhir 2007, Bursa Efek Surabaya melebur ke Bursa Efek Jakarta sehingga menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI)

c. Perusahaan efek

d. Lembaga Kliring dan Penjaminan, saat ini dilakukan oleh PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (PT. KPEI)

e. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT. KSEI).

2. Perdagangan Saham

Saham adalah surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 tentang Pasar Modal, saham didefinisikan sebagai “surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Staatbald No. 23 Tahun 1847).” (Junaedi, 1990). Sedangkan obligasi (bonds, as-sanadat) adalah bukti pengakuan utang dari perusahaan (emiten) kepada para pemegang obligasi yang bersangkutan (Siahaan & Manurung, 2006).

B. Pasar Uang dan Perdagangan Saham Menurut Hukum Islam

  1. Pendapat yang mengatakan haram

Dalam kaitannya dengan pasar modal ini, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu barang dan jasa yang diperdagangkan, mekanisme yang digunakan dan pelaku pasar.

Pertama, Barang yang diperdagangkan adalah efek dan obligasi. Efek tesebut dapat terdiri dari surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, unit penyertaan kontrak investasi kolektif (seperti misalnya reksadana, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek). Semua bentuk efek dan obligasi yang perjualbelikan di pasar modal tidak terlepas dari dua hal, yaitu riba dan sekuritas yang tidak ditopang dengan uang kertas (fiat money) yang bestandar emas dan perak. Dengan begitu, nilai efek dan obligasi yang diperdagangkan pasti akan mengalami fluktuasi. Dari aspek ini, efek dan obligasi tersebut hukumnya jelas haram. Karena faktor riba dan sekuritasnya yang haram.

Kedua, mekanisme (sistem) yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komuditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli. Mengenai jual-beli barang harus ada serah terima, karena ketika Hakim bin Hazzam bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulullah, saya membeli beberapa barang. Mana yang halal dan haram bagi saya? Beliau pun menjawab: ‘Jika kamu membeli barang, maka janganlah kamu menjualnya sampai kamu menyerahterimakannya.” (Hr. Ahmad dari Hakim bin Hazzam)

Ketiga, pelaku pasar. Pelaku pasar yang bermain di pasar modal bisa dipilah menjadi dua, yaitu asing dan domestic. Jika asal negara mereka adalah negara Kafir Harbi, seperti Amerika, Inggris dan Israel, misalnya, maka mereka dilarang masuk. Dengan kata lain, hukumnya haram. Namun, jika negara mereka adalah Kafir Mu’ahad, maka pelaku asing tersebut diperbolehkan.

Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. (Syahatah dan Fayyadh, Bursa Efek : Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hal. 18; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, hal. 109).

Fukaha yang tetap mengharamkan jual beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Yusuf as-Sabatin (ibid., hal. 109) dan Ali As-Salus (Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 465). Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.

Poeunoh Daly mengatakan bahawa jual beli saham yang sekarang ibi mengandung unsur ghoror yang dalam Islam jelas-jelas dilarang. Hukumnya menurut beliau memebeli saham di bursa itu makruh tidak sampai haram. Ali Akbar, menurutnya saham itu ada unsur judi, spekulasi dan kehendak orang untuk cepat kaya. Dalam perdagangan itu akhirnya hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu perusahaan. Ali Yafi juga mengharamkan karena ada unsur spekulatif yang tinggi, mirip perjudian.

  1. Pendapat yang mengatakan boleh.

Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum Islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional.

Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:

a. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan kertas dinar lama.

b. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dalar dengan Pound Mesir.

c. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.

d. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.

e. Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.

f. Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.

Praktek valuta asing hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dam Islam berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275: “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.

Di samping firman Allah di atas, hadis Rasulullah juga mengatakan bahwa: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian”. (HR. Bukhari).

“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.

“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar”.

Dari beberapa Hadist di atas dipahami bahwa hadist pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya valuta asing serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba al-fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadist ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya valuta asing, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain dikarenakan dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i.

Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (ibid., hal. 53). Padahal menurut Taqiyuddin An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), hal. 437)

1 komentar: