Senin, 17 Mei 2010

Nasab Biologis Beda dengan Nasab Syar'i'

Tes deoxyrebose nucleic acid (DNA) bukan wacana baru dalam lapangan sains. Tapi bila persoalan itu diusung dalam konteks agamawi, tentu akan menjadi hal yang sangat menarik. Dan, tema itulah yang diusung komisi Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama yang akhirnya memutuskan menolak uji DNA untuk menentukan hubungan kekeluargaan seseorang secara syar'i.

''Secara biologis dia bisa dinasabkan, tapi tidak secara syar'i,'' ujar Rois Syuriah PWNU Propinsi Riau, KH TG Drs Muchtarullah, dalam sidang itu. Pendapat inilah yang akhirnya diamini oleh peserta sidang.

Menurut Muchtarullah, ia hanya mengingatkan bahwa secara syariat Islam, nasab didasarkan pada perkawinan yang sah. Ketidakjelasan nasab akan membawa para perkara hukum yang lain, waris. ''Jika ia tidak bisa dinasabkan secara syar'i, maka tidak bisa mendapatkan hak waris,'' tambahnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Pekan Baru Riau, yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Propinsi Riau ini menuturkan, dalam menentukan sebuah keputusan atau rekomendasi, harus menelisik banyak rujukan. ''Agar bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari, dunia akhirat,'' ujarnya.

Kepada wartawan Republika Syahruddin El-Fikri, ia bertutur mengenai salah satu pokok bahasan komisinya -- selain isu suap dalam penerimaan pegawai negeri sipil. Berikut ini petikannya: Masalah tes DNA ini menjadi bahasan utama peserta sidang Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah al-Waqi'iyyah pada Muktamar NU ke-31.

Mengapa persoalan ini dianggap 'layak bahas'?

Tes DNA itu adalah merupakan penemuan pada ilmu kedokteran (medis) terkini. Sebab pada Rasul dan zaman sahabat belum dikenal istilah seperti itu. Yang ada pada saat itu adalah sistem al-qiyafah, yakni menurut penglihatan setelah melihat bagian-bagian pada bayi yang baru lahir. Dan salah satu contohnya atau yang saat ini telah di-qiyas-kan adalah dalam bentuk sidik jari. Melalui sidik jari tersebut, seseorang ditentukan bahwa 'inilah sebenarnya hubungannya'.

Dalam tes DNA, yang seperti diputuskan dalam komisi Bahtsul Masail Al-Diniyah dalam Muktamar NU ini (pekan lalu, red), akurasi tingkat kebenaran sudah mencapai 99,9 persen, dan bisa dijadikan sebagai penetapan bahwa seseorang itu memiliki hubungan dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam penetapan masalah DNA tersebut, sebagaimana pendapat yang berkembang dikalangan muktamirin, khususnya masalah ilhaqu al-nasab (hubungan nasab/keturunan), maka berdasarkan hasil tes DNA bisa dijadikan sebagai bagian yang akan mendukung boleh tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasab.

Dalam Bahtsul Masail itu sendiri berkembang dua pendapat, yakni dengan hasil tes DNA itu seseorang bisa dinasabkan secara biologis. Artinya yang bersangkutan memiliki hubungan biologis dengan orang tertentu. Tetapi dari segi syar'i, apakah yang bersangkutan tersebut merupakan anaknya atau tidak, hal itu tidak bisa semata-mata berdasarkan hasil tes DNA.

Kenapa?

Sebab, dalam menentukan keturunan seseorang itu sah atau tidak, amat terkait dengan proses perkawinan. Seseorang itu diakui dan dianggap sebagai anak yang sah, dan memperoleh hak-haknya dalam waris, apabila ia lahir dari hasil pernikahan yang sah. Nah, karena hasil tes DNA hanya menentukan hubungan keturunan itu secara biologis saja, dan tidak diketahui secara syar'i hubungan tersebut sah atau tidak, maka hal itu tidak bisa serta merta bisa ditentukan sebagai dasar hukum bahwa yang bersangkutan memiliki hubungan yang sah dengan orang lain.

Oleh karenanya, selain melalui tes DNA itu, masih dibutuhkan sekian informasi lainnya untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan itu memiliki hubungan dengan orang lain, seperti melalui fisika, akal dan lain sebagainya. Sedangkan tes DNA itu hanya merupakan salah satu bagian saja dari informasi yang banyak tersebut. Jadi hal itu belum bisa diputuskan bahwa yang bersangkutan itu merupakan nasab dari si A atau si B secara sah (syar'i), sedangkan secara biologis bisa saja hal itu dinasabkan.

Bagaimana dengan hak waris, padahal dia bisa dinasabkan secara biologis?

Masalah waris, dalam Alquran dan hadis nabi sudah jelas menegaskan bahwa orang yang berhak menerima warits adalah orang yang bisa dinasabkan secara syar'i, artinya bisa dinasabkan secara sah karena terikat dalam perkawinan.

Sebagai contoh, dalam madzhab Syafi'i, bila seorang laki-laki dan seorang perempuan itu melakukan hubungan zina, maka walaupun ia lahir dari keduanya, tapi tidak bisa dianggap sebagai anak keturunan. Kenapa? Karena menurut Syafi'i, yang namanya nikah adalah aqad, itulah yang menentukan seseorang itu bisa mendapatkan hak warits atau tidak. Tetapi, kalau tidak ada aqad, walaupun dia itu merupakan hasil dari hubungan diantara keduanya, tetap tidak bisa dia mendapatkan warisan.

Tes DNA itu hanya merupakan salah satu alat untuk bisa mengetahui bahwa yang bersangkuta itu memiliki hubungan atau tidak memiliki hubungan dengan yang lain (menafikan). Jadi bukan untuk menentukan bahwa dia memiliki hubungan dengan yang lain atau menisbatkan.

Bisa dipertegas, mengenai dasar hukum atas masalah ini?

Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa al-waladu li al-firasy, artinya anak keturunan itu, harus berdasarkan hubungan suami isteri yang sah. Jadi tes DNA hanya untuk lebih menguatkan (qorinah) saja. Dan dalil ini sudah sangat tegas menjelaskan masalah tersebut.

Sedangkan dari segi kajian usul fikihnya, hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan kerancuan dalam masalah nasab. Sebagaimana salah satu kaidah usul fikih yang menyatakan, dar' ul-mafasid muqaddamun 'ala jalbi al-mashalih, menolak sesuatu yang akan menimbulkan kerusakan harus lebih didahulukan daripada menarik sedikit kemashlahatan. Jadi karena dianggap akan mengaburkan permasalahan nasab, maka tes DNA boleh dilakukan sebagai qorinah atau menguatkan masalah tersebut, tetapi tetap tidak bisa dijadikan sebagai nasab syar'i. Karena selain masih banyak informasi lain yang harus dibutuhkan untuk menetapkan masalah ini, juga harus dibuktikan dengan nasab syar'i, yakni melalui pernikahan yang sah.

Dalam kaitannya masalah ini, maka persoalan ini, masuk dalam kategori hukum dari syadduz dzariah, yakni menolak kerusakan yang akan ditimbulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar