Senin, 17 Mei 2010

Nasab Biologis Beda dengan Nasab Syar'i'

Tes deoxyrebose nucleic acid (DNA) bukan wacana baru dalam lapangan sains. Tapi bila persoalan itu diusung dalam konteks agamawi, tentu akan menjadi hal yang sangat menarik. Dan, tema itulah yang diusung komisi Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama yang akhirnya memutuskan menolak uji DNA untuk menentukan hubungan kekeluargaan seseorang secara syar'i.

''Secara biologis dia bisa dinasabkan, tapi tidak secara syar'i,'' ujar Rois Syuriah PWNU Propinsi Riau, KH TG Drs Muchtarullah, dalam sidang itu. Pendapat inilah yang akhirnya diamini oleh peserta sidang.

Menurut Muchtarullah, ia hanya mengingatkan bahwa secara syariat Islam, nasab didasarkan pada perkawinan yang sah. Ketidakjelasan nasab akan membawa para perkara hukum yang lain, waris. ''Jika ia tidak bisa dinasabkan secara syar'i, maka tidak bisa mendapatkan hak waris,'' tambahnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Pekan Baru Riau, yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Propinsi Riau ini menuturkan, dalam menentukan sebuah keputusan atau rekomendasi, harus menelisik banyak rujukan. ''Agar bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari, dunia akhirat,'' ujarnya.

Kepada wartawan Republika Syahruddin El-Fikri, ia bertutur mengenai salah satu pokok bahasan komisinya -- selain isu suap dalam penerimaan pegawai negeri sipil. Berikut ini petikannya: Masalah tes DNA ini menjadi bahasan utama peserta sidang Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah al-Waqi'iyyah pada Muktamar NU ke-31.

Mengapa persoalan ini dianggap 'layak bahas'?

Tes DNA itu adalah merupakan penemuan pada ilmu kedokteran (medis) terkini. Sebab pada Rasul dan zaman sahabat belum dikenal istilah seperti itu. Yang ada pada saat itu adalah sistem al-qiyafah, yakni menurut penglihatan setelah melihat bagian-bagian pada bayi yang baru lahir. Dan salah satu contohnya atau yang saat ini telah di-qiyas-kan adalah dalam bentuk sidik jari. Melalui sidik jari tersebut, seseorang ditentukan bahwa 'inilah sebenarnya hubungannya'.

Dalam tes DNA, yang seperti diputuskan dalam komisi Bahtsul Masail Al-Diniyah dalam Muktamar NU ini (pekan lalu, red), akurasi tingkat kebenaran sudah mencapai 99,9 persen, dan bisa dijadikan sebagai penetapan bahwa seseorang itu memiliki hubungan dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam penetapan masalah DNA tersebut, sebagaimana pendapat yang berkembang dikalangan muktamirin, khususnya masalah ilhaqu al-nasab (hubungan nasab/keturunan), maka berdasarkan hasil tes DNA bisa dijadikan sebagai bagian yang akan mendukung boleh tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasab.

Dalam Bahtsul Masail itu sendiri berkembang dua pendapat, yakni dengan hasil tes DNA itu seseorang bisa dinasabkan secara biologis. Artinya yang bersangkutan memiliki hubungan biologis dengan orang tertentu. Tetapi dari segi syar'i, apakah yang bersangkutan tersebut merupakan anaknya atau tidak, hal itu tidak bisa semata-mata berdasarkan hasil tes DNA.

Kenapa?

Sebab, dalam menentukan keturunan seseorang itu sah atau tidak, amat terkait dengan proses perkawinan. Seseorang itu diakui dan dianggap sebagai anak yang sah, dan memperoleh hak-haknya dalam waris, apabila ia lahir dari hasil pernikahan yang sah. Nah, karena hasil tes DNA hanya menentukan hubungan keturunan itu secara biologis saja, dan tidak diketahui secara syar'i hubungan tersebut sah atau tidak, maka hal itu tidak bisa serta merta bisa ditentukan sebagai dasar hukum bahwa yang bersangkutan memiliki hubungan yang sah dengan orang lain.

Oleh karenanya, selain melalui tes DNA itu, masih dibutuhkan sekian informasi lainnya untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan itu memiliki hubungan dengan orang lain, seperti melalui fisika, akal dan lain sebagainya. Sedangkan tes DNA itu hanya merupakan salah satu bagian saja dari informasi yang banyak tersebut. Jadi hal itu belum bisa diputuskan bahwa yang bersangkutan itu merupakan nasab dari si A atau si B secara sah (syar'i), sedangkan secara biologis bisa saja hal itu dinasabkan.

Bagaimana dengan hak waris, padahal dia bisa dinasabkan secara biologis?

Masalah waris, dalam Alquran dan hadis nabi sudah jelas menegaskan bahwa orang yang berhak menerima warits adalah orang yang bisa dinasabkan secara syar'i, artinya bisa dinasabkan secara sah karena terikat dalam perkawinan.

Sebagai contoh, dalam madzhab Syafi'i, bila seorang laki-laki dan seorang perempuan itu melakukan hubungan zina, maka walaupun ia lahir dari keduanya, tapi tidak bisa dianggap sebagai anak keturunan. Kenapa? Karena menurut Syafi'i, yang namanya nikah adalah aqad, itulah yang menentukan seseorang itu bisa mendapatkan hak warits atau tidak. Tetapi, kalau tidak ada aqad, walaupun dia itu merupakan hasil dari hubungan diantara keduanya, tetap tidak bisa dia mendapatkan warisan.

Tes DNA itu hanya merupakan salah satu alat untuk bisa mengetahui bahwa yang bersangkuta itu memiliki hubungan atau tidak memiliki hubungan dengan yang lain (menafikan). Jadi bukan untuk menentukan bahwa dia memiliki hubungan dengan yang lain atau menisbatkan.

Bisa dipertegas, mengenai dasar hukum atas masalah ini?

Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa al-waladu li al-firasy, artinya anak keturunan itu, harus berdasarkan hubungan suami isteri yang sah. Jadi tes DNA hanya untuk lebih menguatkan (qorinah) saja. Dan dalil ini sudah sangat tegas menjelaskan masalah tersebut.

Sedangkan dari segi kajian usul fikihnya, hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan kerancuan dalam masalah nasab. Sebagaimana salah satu kaidah usul fikih yang menyatakan, dar' ul-mafasid muqaddamun 'ala jalbi al-mashalih, menolak sesuatu yang akan menimbulkan kerusakan harus lebih didahulukan daripada menarik sedikit kemashlahatan. Jadi karena dianggap akan mengaburkan permasalahan nasab, maka tes DNA boleh dilakukan sebagai qorinah atau menguatkan masalah tersebut, tetapi tetap tidak bisa dijadikan sebagai nasab syar'i. Karena selain masih banyak informasi lain yang harus dibutuhkan untuk menetapkan masalah ini, juga harus dibuktikan dengan nasab syar'i, yakni melalui pernikahan yang sah.

Dalam kaitannya masalah ini, maka persoalan ini, masuk dalam kategori hukum dari syadduz dzariah, yakni menolak kerusakan yang akan ditimbulkan.

PASAR UANG DAN PERDAGANGAN SAHAM DALAM ISLAM

A. Pengertian

1. Pasar Uang

Pasar Uang adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu jangka waktu yang kurang dari satu tahun. Tujuan pasar uang adalah untuk member alternatif, baik lembaga keuangan bank maupun bukan bank, untuk memperoleh dana dan menanamkan dananya. Pasar modal berfungsi menghubungkan investor, perusahaan dan institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan.

Di Indonesia, Pasar Modal terdiri atas lembaga-lembaga sebagai berikut:

a. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)

b. Bursa efek, saat ini ada dua: Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya namun sejak akhir 2007, Bursa Efek Surabaya melebur ke Bursa Efek Jakarta sehingga menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI)

c. Perusahaan efek

d. Lembaga Kliring dan Penjaminan, saat ini dilakukan oleh PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (PT. KPEI)

e. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT. KSEI).

2. Perdagangan Saham

Saham adalah surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 tentang Pasar Modal, saham didefinisikan sebagai “surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Staatbald No. 23 Tahun 1847).” (Junaedi, 1990). Sedangkan obligasi (bonds, as-sanadat) adalah bukti pengakuan utang dari perusahaan (emiten) kepada para pemegang obligasi yang bersangkutan (Siahaan & Manurung, 2006).

B. Pasar Uang dan Perdagangan Saham Menurut Hukum Islam

  1. Pendapat yang mengatakan haram

Dalam kaitannya dengan pasar modal ini, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu barang dan jasa yang diperdagangkan, mekanisme yang digunakan dan pelaku pasar.

Pertama, Barang yang diperdagangkan adalah efek dan obligasi. Efek tesebut dapat terdiri dari surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, unit penyertaan kontrak investasi kolektif (seperti misalnya reksadana, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek). Semua bentuk efek dan obligasi yang perjualbelikan di pasar modal tidak terlepas dari dua hal, yaitu riba dan sekuritas yang tidak ditopang dengan uang kertas (fiat money) yang bestandar emas dan perak. Dengan begitu, nilai efek dan obligasi yang diperdagangkan pasti akan mengalami fluktuasi. Dari aspek ini, efek dan obligasi tersebut hukumnya jelas haram. Karena faktor riba dan sekuritasnya yang haram.

Kedua, mekanisme (sistem) yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komuditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli. Mengenai jual-beli barang harus ada serah terima, karena ketika Hakim bin Hazzam bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulullah, saya membeli beberapa barang. Mana yang halal dan haram bagi saya? Beliau pun menjawab: ‘Jika kamu membeli barang, maka janganlah kamu menjualnya sampai kamu menyerahterimakannya.” (Hr. Ahmad dari Hakim bin Hazzam)

Ketiga, pelaku pasar. Pelaku pasar yang bermain di pasar modal bisa dipilah menjadi dua, yaitu asing dan domestic. Jika asal negara mereka adalah negara Kafir Harbi, seperti Amerika, Inggris dan Israel, misalnya, maka mereka dilarang masuk. Dengan kata lain, hukumnya haram. Namun, jika negara mereka adalah Kafir Mu’ahad, maka pelaku asing tersebut diperbolehkan.

Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. (Syahatah dan Fayyadh, Bursa Efek : Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hal. 18; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, hal. 109).

Fukaha yang tetap mengharamkan jual beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Yusuf as-Sabatin (ibid., hal. 109) dan Ali As-Salus (Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 465). Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.

Poeunoh Daly mengatakan bahawa jual beli saham yang sekarang ibi mengandung unsur ghoror yang dalam Islam jelas-jelas dilarang. Hukumnya menurut beliau memebeli saham di bursa itu makruh tidak sampai haram. Ali Akbar, menurutnya saham itu ada unsur judi, spekulasi dan kehendak orang untuk cepat kaya. Dalam perdagangan itu akhirnya hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu perusahaan. Ali Yafi juga mengharamkan karena ada unsur spekulatif yang tinggi, mirip perjudian.

  1. Pendapat yang mengatakan boleh.

Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum Islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional.

Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:

a. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan kertas dinar lama.

b. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dalar dengan Pound Mesir.

c. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.

d. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.

e. Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.

f. Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.

Praktek valuta asing hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dam Islam berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275: “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.

Di samping firman Allah di atas, hadis Rasulullah juga mengatakan bahwa: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian”. (HR. Bukhari).

“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.

“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar”.

Dari beberapa Hadist di atas dipahami bahwa hadist pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya valuta asing serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba al-fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadist ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya valuta asing, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain dikarenakan dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i.

Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (ibid., hal. 53). Padahal menurut Taqiyuddin An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), hal. 437)

Valuta Asing Dalam Pandangan Islam

VALUTA ASING

Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperti dolar Amerika, Poundsterling Inggris, Euro, dollar Australia, Ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing sebagai alat pembayaran luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri.

Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.

Valuta Asing Dalam Perspektif Islam

Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum Islam.Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.

Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:

1. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas danar baru Irak dengan kertas dinar lama.

2. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dalar dengan Pound Mesir.

3. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.

4. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.

5. Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.

Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu
Praktek valuta asing hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dam Islam berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275: “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.

Di samping firman Allah di atas, hadis Rasulullah juga mengatakan bahwa: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian”. (HR. Bukhari).

“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.

“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar”.

Dari beberapa Hadist di atas dipahami bahwa hadist pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya valuta asing serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba al-fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadist ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya valuta asing, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) itu harus dilakukan sama-sama tunai serta tidak melebihkan antara suatu barang dengan barang yang lain dalam mata uang yang sejenis. Begitu juga pertukaran antara dua jenis mata uang yang berbeda, hukumnya mubah. Bahkan tidak ada syarat harus sama atau saling melebihkan, namun hanya disyaratkan tunai dan barangnya sama-sama ada.


Referensi :
- An-Nabhani, Taqiyuddin, an-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan VI, 2004
- Syahatah, Husein & Fayyadh, Athiyah, Bursa Efek : Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal (Adh-Dhawabit Al-Syar'iyah li At-Ta'amul fii Suuq Al-Awraq Al-Maliyah), Penerjemah A. Syakur, (Surabaya : Pustaka Progressif), 2004
- As-Salus, Ali Ahmad, Mausu'ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu'ashirah wa al-Iqtishad al-Islami, (Qatar : Daruts Tsaqafah), 2006
- Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 1996
- Junaedi, Pasar Modal Dalam Pandangan Hukum Islam, (Jakarta : Kalam Mulia), 1990
- As-Sabatin, Yusuf Ahmad Mahmud, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 2002
- al-Jawi ,KH. M. Shiddiq, Jual Beli Saham Dalam Pandangan Islam, http://www. The house of Khilafah1924_org, 09 Maret 2008
- Siahaan, Hinsa Pardomuan & Manurung, Adler Haymans, Aktiva Derivatif : Pasar Uang, Pasar Modal, Pasar Komoditi, dan Indeks (Jakarta : Elex Media Komputindo), 2006