Selasa, 15 September 2009

Hanya Depag yang Berhak Menetapkan 1 Syawal

Jakarta, BimasIslam----Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Ali Mustafa Yakub mengatakan bahwa sesuai dengan Fatwa MUI nomor 2 tahun 2004 yang paling berhak menetapan tanggal 1 Syawal, awal ramadhan dan 1 Muharram adalah Menteri Agama. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi Fatwa berkaitan dengan masih terjadinya kontroversi perbedaan penetapan awal ramadhan dan hari raya umat islam tersebut. Ia juga merujuk ayat alquran yang mengatakan ’’Hai orang-orang yang beriman Taatilah Tuhan-MU dan Taatilah Rosulmu dan Taatilah Pemimpinmu’’.

Menanggapi sering beredarnya anggapan di masyarakat bahwa Ulil Amri adalah para pemimpin masing-masing golongan, ia menanggapi bahwa hal itu adalah penafsiran lokal. Sedangkan menurut para ahli tafsir pada umumnya ulil amri yang dimaksud adalah pemerintah.

Menjelang penetapan hari raya idul fitri 1430H hangat diperbincangkan di media tentang siapa yang paling berhak menetapkan hari lebaran. Berbagai dialog ditayangkan di media-media nasional yang membahas penetapan hari yang fitrah tersebut.

Sementara itu KH. Ghazali Masruri menanggapi permasalahan ini mengatakan bahwa ’’intervensi pemerintah masih sangat diperlukan dalam menetapkan awal ramadhan dan hari raya’’. Hal ini berkaitan dengan fatwa MUI mengacu kepada Rukyat dan Hisab. Ketua Laznah Falaqiah PBNU ini menganggap masih perlunya pemerintah untuk menjembatani ormas-ormas Islam di Indonesia.

Menanggapi berbagai diskusi yang berlangsung saat ini Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar mengatakan bahwa pemerintah harus bisa menyelesaikan secara dingin untuk menjembatani kelompok-kelompok ahli hisab dan ahli rukyat yang ada di indonesia. Ditjen Bimas Islam senantiasa melakukan berbagai pendekatan terhadap berbagai ormas islam di Indonesia untuk meredam terjadinya konflik horisontal. Untuk menetapkan hari-hari tersebut diperlukan adanya titik temu tanpa adanya pemaksaan terhadap berbagai pihak.

Rencananya Departemen Agama melalui Ditjen Bimas Islam akan mengadakan Sidang Isbath untuk menetapkan hari raya idul fitri 1 Syawal pada tanggal 19 September 2009 di Operation Room Departemen Agama. Semoga berhasil,,,,,,,

Senin, 29 Juni 2009

Puasa Berdasarkan Satu Ru'yat [Penglihatan]

Para ahlul ilmi telah berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu jika di suatu negara kaum muslimin telah terlihat hilal, yang mana ru’yat itu telah memenuhi standar syar’iat, apakah kaum muslimin lainnya harus mengikuti hasil ru’yat tersebut ?

Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan, bahwa itu mengharuskan kaum muslimin untuk berpedoman pada hasil ru’yat tersebut. Mereka berdalih dengan keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah ia berpuasa dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [Al-Baqarah : 185]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah”. Mereka mengatakan , “khitab ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh kaum muslimin”.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa yang dimaksudkan itu bukanlah ru’yat setiap orang dengan penglihatannya masing-masing, karena hal itu tidak mungkin. Yang dimaksud itu adalah, bila yang melihatnya itu seorang yang dapat dipercaya penglihatannya tentang masuknya bulan (bergantinya bulan), dan ini bersifat umum di setiap tempat.

Para ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa tempat-tempat munculnya hilal itu berbeda-beda, sehingga setiap wilayah ada tempat sendiri-sendiri, Jika tempat munculnya hilal itu sama, maka orang-orang yang berada di wilayah tersebut, kendati belum melihatnya, harus mengikuti, jika memang di bagian lain (dalam kawasan yang sama tempat terbitnya) telah terlihat hilal.

Mereka berdalih dengan dalil yang sama, mereka mengatakan : Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]

Dan sebagaimana diketahui, bahwa yang dimaksud itu bukanlah penglihatan masing-masing orang, tapi cukup dilakukan di tempat yang bisa melihat munculnya hilal. Hal ini berlaku untuk setiap tempat yang masih satu kawasan. Adapun kawasan lain yang tempat munculnya hilal berbeda dengan tempat tersebut, jika memang belum melihatnya, maka tidak harus mengikutinya.

Mereka juga mengatakan : Kami juga mengatakan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) meka bebukalah” [1]

Bahwa orang yang berada di suatu tempat yang tidak sekawasan dengan orang yang telah melihat hilal, maka secara hakikat dan hukum ia belum termasuk yang melihatnya. Lebih jauh mereka mengatakan : Penentuan waktu bulanan adalah seperti halnya penentuan waktu harian, karena negara-negara itu berbeda waktu mulai puasa dan bukanya setiap hari, maka demikian juga dalam penetapan mulai dan berakhirnya bulan. Sebagaimana diketahui, bahwa perbedaan waktu/hari telah disepakati oleh kaum muslimin, di mana orang-orang yang berada di belahan timur bumi lebih dulu berpuasa daripada yang berada di belahan barat, demikian juga, mereka berbuka lebih dulu.

Jika kita memberlakukan perbedaan waktu terbit harian ini, maka untuk penetapan bulan pun sama persis perbedaannya.

Tidak mungkin seseorang mengatakan, bahwa firman Allah.

“Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam” [Al-Baqarah : 187]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Jika malam telah datang dari sini dan siang telah berlalu dari sini, sementara matahari telah terbenam, maka telah berbuka orang yang puasa” [2]

Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ini bersifat umum yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin di semua negara.

Kami pun berpedoman pada keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulan itu maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berbukalah” [3]

Pendapat ini, sebagaimana anda lihat, cukup kuat baik secara lafazh, pandangan dan kiyas yang benar, yaitu mengkiaskan penetapan waktu bulanan pada penetapan waktu harian.

Ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa perkaranya di tangan yang berwenang dalam masalah ini. Jika yang berwenang itu berpendapat wajibnya puasa atau berbuka berdasarkan itu yang dilandasi oleh sandaran syar’i, maka ketetapan itu yang berlaku. Hal ini agar orang-orang yang berada di satu wilayah tidak berlainan. Mereka berdalih dengan kumuman hadits.

“Artinya : Hari puasa adalah hari dimana kalian semua berpuasa, dan hari berbuka adalah hari dimana kalian semua berbuka” [4]

Ada juga pendapat lain dari para ahlul ilmi seputar perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Kemudian tentang hal kedua yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyahnya ? Mereka disana tidak memungkinkan untuk menetapkan hilal dengan cara syar’i, maka caranya, mereka berusaha untuk melihatnya jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan, maka ketika telah ada ketetapan ru’yat hilal di suatu negara Islam, mereka melaksanakan berdasarkan ru’yat tersebut, baik itu mereka telah melihatnya ataupun belum.

Kalau kita berpijak pada pendapat kedua, yakni masing-masing negara berdiri sendiri jika tempat munculnya hilal berlainan, sementara mereka tidak bisa melakukan ru’yat di negera tempat tinggalnya, maka mereka mengikuti negara Islam yang terdekat, karena cara inilah yang paling memungkinkan untuk mereka lakukan.

Jumat, 19 Juni 2009

LARANGAN PENGKHUSUSAN PUASA HARI JUM’AT

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum'at, kecuali jika berpuasa sehari sebelum atau setelahnya" [Ditakhrij oleh Muslim : Kitabush Shaum/Bab Karahiatu Shiyam Yaumul Jum'ah Munfaridan (1144)]

Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum'at dengan puasa adalah bahwa hari Jum'at merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyariatkan ; karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul Adha dan Hari raya mingguan yakni hari Jum'at. Oleh sebab itu hari ini terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum'at adalah hari yang sepatutnya seseorang lelaki mendahulukan shalat Jum'at, menyibukkan diri berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama'ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia disibukkan dengan do'a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa ketika saling berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan ibadah yang tak bisa ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda.

Apabila ada orang yang berkata, "Sesungguhnya alasan ini, bahwa keadaan Jum'at sebagai hari raya mingguan seharusnya menjadikan puasa pada hari itu menjadi haram sebagaimana dua hari raya lainnya (Fitri dan Adha) tidak hanya pengkhususannya saja".

Kami katakan, "Dia (Jum'at) berbeda dengan dua hari raya itu ; sebab dia berulang di setiap bulan sebanyak empat kali, karena ini tiada larangan yang berderajat haram padanya, selanjutnya di sana ada sifat-sifat lain dari dua hari raya tersebut yang tidak didapatkan di hari Jum'at.

Adapun apabila dia berpuasa satu hari sebelumnya atau sehari sesudahnya maka puasanya ketika itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum'at dengan puasa ; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari Sabtu.

Sedangkan soal seorang penanya, "Apakah larangan ini khusus untuk puasa nafilah (sunah) atau juga puasa Qadha (pengganti hutang puasa) ?

Sesungguhnya dhahir dalilnya umum, bahwa makruh hukumnya mengkhususkan puasa sama saja apakah untuk puasa wajib (qadla) atau puasa sunnah, -Ya Allah-, kecuali kalau orang yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya sehingga dia bisa membayar hutang puasanya kecuali pada hari Jum'at, ketika itu dia tidak lagi makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa ; karena dia memerlukan hal itu.

Rabu, 17 Juni 2009

Udzur Yang Membolehkan Orang Berbuka

Udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah : sakit, bepergian, seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an, termasuk udzur pula seorang perempuan yang hamil dan mengkhawatirkan keadaan dirinya dan janin yang dikandungnya. Termasuk udzur pula seorang perempuan yang sedang menyusui, dia khawatir kalau dia berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang disusuinya, juga saat seseorang membutuhkan untuk berbuka guna menyelamatkan orang yang diselamatkan dari kematian, misalnya dia mendapati seseorang tenggelam di laut, atau seseorang yang berada diantara tempat yang mengelilinginya yang di dalamnya ada api sehingga dia butuh –dalam penyelamatannya- untuk berbuka, maka dia diwaktu itu boleh berbuka dan menyelamatkan dirinya.

Demikian pula apabila seseorang butuh berbuka puasa untuk menguatkannya dalam jihad fisabilillah, maka sesungguhnya keadaan ini menjadi sebab kebolehan berbuka baginya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada para sahabat beliau di dalam perang Fathu Makkah.

“Artinya : Sesungguhnya kalian pasti bertemu musuh besok, sedangkan berbuka puasa akan lebih menguatkan kalian, maka berbukalah kalian !” [1]

Apabila didapatkan sebab yang membolehkan berbuka dan seseorang berbuka karenanya, maka dia tidak lagi berkewajiban menahan diri dari makan minum pada sisa harinya itu. Apabila ditetapkan bahwa seseorang boleh berbuka untuk menyelamatkan yang diselamatkan dari kematian maka dia tetap meneruskan keadaan berbuka (tidak puasa) walaupun sesudah penyelamatannya, karena dia berbuka dengan sebab dibolehkannya berbuka bagi dia sehingga tidak harus menahan diri dari makan minum ketika itu. Sebab keharaman hari itu telah hilang disebabkan kebolehan berbuka puasa.

Untuk ini kami akan mengatakan sebuah pendapat yang kuat tentang masalah ini ; bahwa seorang yang sakit walau telah sembuh di pertengahan siang sedangkan dia dalam keadaan berbuka maka dia tidak harus menahan diri lagi, seandainya seorang musafir telah datang di kampung halamannya kembali di pertengahan siang dia tidak berkewajiban menahan diri (berpuasa) lagi, kalau seorang perempuan yang haidh telah suci di pertengahan siang maka dia tidak harus berpuasa lagi di sisa harinya ; sebab mereka semuanya berbuka dengan sebab kebolehan berbuka sehingga hari itu sudah menjadi hak mereka, tidak ada lagi kewajiban puasa di dalamnya, karena adanya kebolehan syariat untuk berbuka di dalamnya sehingga mereka tidak wajib melanjutkan puasa.

Ini berbeda bila seseorang mengetahui masuknya bulan Ramadhan di pertengahan siang, maka wajib hukumnya menahan diri (tidak makan minum) seketika itu juga. Perbedaan antara keduanya cukup jelas, karena apabila bukti telah kuat di petengahan siang maka wajiblah atas mereka menahan diri di hari itu, akan tetapi mereka menjadi orang-orang yang memperoleh udzur sebelum tetapnya bukti masuknya bulan Ramadhan, dengan ketidak tahuan.

Karena inilah, seandainya mereka tahu bahwa hari ini sudah termasuk Ramadhan maka wajib atas mereka menahan diri, adapun sekelompok kaum yang lain diperbolehkan berbuka puasa berdasarkan ilmu mereka, ada perbedaan yang jelas antara mereka.

Kamis, 26 Maret 2009

Kepada Siapa Zakat Fitrah itu Diberikan ??

Dr. Yusuf Qardawi

Zakat Fitrah Diberikan kepada Fuqara Muslim, dengan Kesepakatan Para Ulama


Berkata Ibnu Rusyd: “Kepada zakat fitrah diberikan?” Para ulama telah sepakat bahwa ia dibagikan kepada fuqara muslim, berdasarakan hadits Nabi saw. : “Cukupkanlah mereka” (hadits).

Perebedaan Pendapat pada Orang-orang Fakir Ahli Zimmi


Ibnu Rusyd berkata: “Para Ulama berbeda pendapat. Apakah diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah bagi orang fakir ahli zimmi. Jumhur Ulama berpendapat, bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Abu hanifah berpendapat, bahwa hal itu boleh saja. Sebab perbedaan pendapat ini, apakah alasan kebolehan memberikan zakat fitrah itu kepada kefakiran saja atau kefakiran dan Islam. Jika fakir dan Islam, maka akan berpendapat tidak boleh dan jika kefakiran saja, maka tentu diperbolehkan. Segolongan ulama mensyaratkan, bahwa ahli zimmi yang boleh menerima zakat itu adalah para pendeta. Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan, bahwa abu Maisarah memberikan zakat fitrah kepada para pendeta. Amr bin Maimun, Amr bin Syurah bil dan Murrrah Hamdani memberi zakat fitrah, sebagaimana para pendeta.


Sesungguhnya hal ini merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi yang kedua dari rasa solidaritas Islam, yang tidak berhenti kebaikannya karena berbeda agama, selama mereka tidak memerangi dan tidak mengkhianati uamt Islam.


Maka dengan ini, kebahagiaan Hari Raya mencakup kepada semua yang hidup di bawah tanggung jawab kaum Muslimin, walaupun mereka orang-orang kufur. Hanya saja hal ini dilakuakan, setelah terlebih dahulu memberikan kecukupan kepada orang-orang fakir Islam.

Apakah Zakat Firah Dibagikan kepada Asnaf yang Delapan?


Apakah zakat fitrah itu hanya diberikan kepada fakir miskin saja atau kepada semua golongan yang delapan ?


Pendapat yang mahsyur dari madzab Syafi’i, bahwa wajib menyerahkan zakat kepada golongan orang berhak menerima zakat, yaitu sebagaimana dinyatakan dalam Surat At-Taubah ayat 60. Mereka wajib diberi bagian dengan rata. Dan ini adalah madzab Ibnu Hazm. Apabila zakat fitrah itu dibagikannya sendiri, maka gugurlah bagian petugas, karena memang tidak ada, dan gugur pula bagian muallaf, karean urusan mereka hanyalah diserahkan kepada penguasa. (Al-Muhalla, jilid 5, hal.143-5)

Ibnu Qayyim membenatah pendapat ini dan berkata: “Pengkhususan zakat fitrah bagi orang-orang miskin saja, merupakan hadiah dari Nabi saw. Nabi tidak pernah membagikan zakat fitrah sedikit-sedikit kepada golongan yang delapan, tidak pernah pula menyuruhnya, tidak dilakukan oleh seorang pun dari para sahabat dan orang-orang sesudahnya. Bahkan salah satu pendapat dari madzab kami adalah tidak boleh menyerahkan zakat fitrah, kecuali hanya kepada golongan miskin saja.


Pendapat ini lebih kuat dibandingkan dengan pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitrah kepada asnaf yang delapan. (Zadul Ma’ad, jilid 1, hal. 315)


Menurut madzab Maliki, sesungguhnya zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada golongan fakir dan miskin. Tidak kepada petugas zakat, tidak pada orang yang muallaf, tidak dalam pembebasan perbudakan, tidak kepada orang yang berhutang, tidak untuk orang yang berperang dan tidak pula untuk ibnu sabil yang kehabisan bekal untuk pulang, bahakan tidak diberi kecuali dengan sifat fakir. Apabila di suatu negara tidak ada orang fakir, maka dipindahkan kepada negara tetangga dengan ongkos dari orang yang mengeluarkan zakat, bukan diambil dari zakat, supaya tidak berkurang jumlahnya. (Syarkul Kabir bi Hasyiah ad-Dasuki, jilid 1, hal. 508 – 509)


Dalam hal ini,jelaslah ada tiga pendapat :

1. Pendapat yang mewajibkan dibagikannya pada asnaf yang delapan, dengan rata. Ini adalah pendapat yang mahsyur dari golongan Syafi’i.

2. Pendapat yang memperkenankan membagikannya kepada asnaf yang delapan dan mengkhususkannya kepada golongan yang fakir. Ini adalah pendapat Jumhur, karena zakat fitrah adalah zakat juga, sehingga masuk pada keumuman ayat 60 dari Surat At-Taubah.

3. Pendapat yang mewajibkan mengkhususkan kepada orang-orang fakir saja. Ini adalah endapat golongan Maliki, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Ibnu Qayyim dan gurunya, yaitu Ibnu Taimiah. Pendapat ini dipegang pula oleh Imam Hadi, Qashim dan Abu Thalib, dimana mereka mengatakan bahwa zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada fakir miskin saja, tidak kepada yang lainnya dari asnaf yang delapan, berdasarakan hadits: “Zakat fitrah adalah memberi makanan pada orang-orang miskin.” Dan Hadits, “Cukupkanlah mereka di Hari Raya ini.” (Nail al-Authar, jilid 4, hal. 195)


Bersamaan dengan maksud pendapat ini dan bergeraknya sesuai dengan tujuan zakat fitrah serta sesuai dengan sasaran pokok daripadanya, saya berpendapat untuk tidak mencegah dan menutup asnaf-asnaf lain, bilamana diperlukan. Hadits-hadits yang mereka kemukakan, menunjukkan bahwa maksud utama dari zakat adalah mencukupkan orang-orang fakir di Hari Raya itu saja, sehingga mendahulukan mereka, jika mereka ada. Tetapi ini tidak mencegah diberikannya kepada kelompok lain, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, sebagaimana penjelasan Nabi tentang zakat harta, bahwa zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang fakirnya. Rasulullah saw tidak melarang, zakat itu diberikan kepada asnaf lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat Qur’an Surat At-Taubah ayat 60 itu.


Jelaslah pendapat yang saya pilih adalah mendahulukan orang-orang yang fakir daripada yang lain, kecuali karena suatu kebutuhan dan kemaslahatan yang dibenarkan ajaran Islam.


Menurut pendapat yang sahih, yang dipegang oleh sebagian besar fuqaha, bahwa bagi seorang Muslim boleh menyerahkan zakat fitrahnya pada seorang atau beberapa orang miskin, sebagaimana beoleh orang banyak meneyrahkan zakat fitrah kepada seorang miskin, karena tidak ada alasan yang memperincinya. (Al-Bahr, jilid 2, hal. 197)


Sebagian ulama tidak menyenangi penyerahan zakat fitrah seorang Muslim pada beberapa orang miskin, karena dengan cara itu tidak akan terlaksana pemenuhan kebutuhan orang fakir, sebagaimana diperintahkan oleh hadits Nabi. Sama halnya seperti itu, jamaah yang banyak meyerahkan zakat fitrahnya kepada seseorang yang dipilihnya, padahal ada orang lain yang sama-sama membutuhkan atau bahkan lebih membutuhkan, dan tidak ada alasan yang memerintahkan pengkhsususan ini. (Ad-Dur al-Mukhtar dan Hasyahnya, jilid2, hal. 85; Syark Kabir pada Hasyah ad-Dusuqi, jilid 1 hal. 508)

Orang yang Tidak Berhak Menerima Zakat Fitrah


Selama zakat fitrah itu adalah zakat, maka tidak boleh menyerahkan kepada orang yang dilarang menerima zakat harat, seoerti orang kafir yang menentang Islam, orang murtad, orang fasik yang merusak Islam dengan kefasikannya, orang yang kaya baik dengan harta maupun dengan usahanya atau penganggur yang sanggup berusaha, akan tetaoi tidak berusaha, atau orang tua, anak maupun istri, karena jika si Musliam menyerahkan kepada mereka, maka sama dengan menyerahkan kepada dirinya sendiri.

Orang-orang Fakir di Daerahnya adalah Lebih Utama


Apa yang kita kemukakan tentang pemindahan zakat harta, kita kemukakan pula disini, yaitu bahwa pokoknya zakat fitrah itu harus dibagikan di daerah kewajibannya, yaitu daerah orang yang nengeluarkan zakat. San karean zakat fitrah itu, terutama ditunjukkkan untuk pemenuhan kebutuhan yang cepat pada kondisi tetentu, yaitu pada Hari Raya, maka yang lebih utama tentu adalah tetangga dan penduduk setempat. Kecuali didaerah itu tidak ada orang fakir, maka dipindahakan ke daerah tetangga, sebagaimana pendapat golongal Milikiah.

Dikemukakan al-Bahr: dimakruhkan memberikan zakat fitrah kepada fakir daerah lain, kecuali dengan tujuan lebih uatama.